PALEMBANG,LENTERAJABAR,COM - Pahlawan tanpa tanda jasa guru honorer nasibnya kian terpuruk. Bukannya mendapat kesejahteraan setelah pelimpahan wewenang ke provinsi, status mereka justru makin tidak jelas. Ironisnya, sejumlah sekolah terpaksa merumahkan guru honorer yang pengangkatannya memakai Surat Keputusan (SK) kepala sekolah.
Para guru kemudian menuntut transparansi dan keadilan. Mengabdi puluhan tahun tapi seperti tanpa dihargai. Lima bulan belum gajian sampai tidak masuk databased Disdik Sumsel.
Setelah verifikasi ulang, Disdik menetapkan guru honorer dan tenaga tata usaha SMA/SMK di Sumsel yang memenuhi syarat sebagai penerima gaji dari APBD Pemprov Sumsel hanya 573 orang. Mereka yang masuk databased itu, semua mengantongi SK bupati/Walikota atau SK Kepala Dinas a.n. Kepala Daerah. Sedangkan 3.287 guru honorer SK Kepsek tidak diakomodasi sama sekali.
Lena (49), guru honorer SMA Negeri 1 Muara Telang, Banyuasin protes. “Sudah 5 bulan kami menantikan gaji yang dijanjikan Disdik Sumsel pasca peralihan. Selama itu juga seluruh tunjangan dan gaji sebelumnya dari Pemkab Banyuasin tak lagi dibayar,” keluhnya seperti dirilis sumeks.co.id.
“Kalau tahu bakal begini, mending kami jadi guru honorer di bawah naungan kabupaten. Karena setiap bulan saya terima gaji Rp1 juta. Ditambah tunjangan khusus guru terpencil Rp800 ribu per bulan,” sesalnya. Apalagi peralihan ini bukan kehendaknya tapi undang-undang.
Pengabdian Lena patut diacungi jempol. Dia jadi honorer hampir 12 tahun sejak 2005 silam. “Awalnya bertugas di SMA Negeri Pulau Rimau dengan SK Kadisdik Banyuasin, lalu 2016 pindah ke SMAN 1 Muara Telang,” katanya.
Padahal dia sudah masuk guru honorer kategori dua, tapi belum bernasib diangkat jadi PNS. Di SMAN itu malah Lena mengaku sudah 26 jam mengajar seminggu. Melebihi yang disyaratkan Disdik Sumsel yang hanya 16 jam.
Kalau tak lulus karena masalah umur di atas 45 tahun, dia pun menanyakan kepada Disdik. “Sepengetahuan saya guru PNS saja usia pensiun bisa sampai 60 tahun, bahkan sekolah swasta jika masih mampu sampai 70 tahun diberdayakan,” kata dia. Nah jika tak masuk databased, gajinya juga makin tak jelas. Seberapa besar sekolah bisa sanggup membayar kami,” tandasnya.
Karena itulah dia bersama honorer lain akan berjuang menuntut haknya. “Tolonglah Pemprov Sumsel perhatikan pengabdian kami di daerah terpencil ini,” pinta wanita kelahiran Medan, 20 September 1968 dengan lima orang anak ini.(Red)
Para guru kemudian menuntut transparansi dan keadilan. Mengabdi puluhan tahun tapi seperti tanpa dihargai. Lima bulan belum gajian sampai tidak masuk databased Disdik Sumsel.
Setelah verifikasi ulang, Disdik menetapkan guru honorer dan tenaga tata usaha SMA/SMK di Sumsel yang memenuhi syarat sebagai penerima gaji dari APBD Pemprov Sumsel hanya 573 orang. Mereka yang masuk databased itu, semua mengantongi SK bupati/Walikota atau SK Kepala Dinas a.n. Kepala Daerah. Sedangkan 3.287 guru honorer SK Kepsek tidak diakomodasi sama sekali.
Lena (49), guru honorer SMA Negeri 1 Muara Telang, Banyuasin protes. “Sudah 5 bulan kami menantikan gaji yang dijanjikan Disdik Sumsel pasca peralihan. Selama itu juga seluruh tunjangan dan gaji sebelumnya dari Pemkab Banyuasin tak lagi dibayar,” keluhnya seperti dirilis sumeks.co.id.
“Kalau tahu bakal begini, mending kami jadi guru honorer di bawah naungan kabupaten. Karena setiap bulan saya terima gaji Rp1 juta. Ditambah tunjangan khusus guru terpencil Rp800 ribu per bulan,” sesalnya. Apalagi peralihan ini bukan kehendaknya tapi undang-undang.
Pengabdian Lena patut diacungi jempol. Dia jadi honorer hampir 12 tahun sejak 2005 silam. “Awalnya bertugas di SMA Negeri Pulau Rimau dengan SK Kadisdik Banyuasin, lalu 2016 pindah ke SMAN 1 Muara Telang,” katanya.
Padahal dia sudah masuk guru honorer kategori dua, tapi belum bernasib diangkat jadi PNS. Di SMAN itu malah Lena mengaku sudah 26 jam mengajar seminggu. Melebihi yang disyaratkan Disdik Sumsel yang hanya 16 jam.
Kalau tak lulus karena masalah umur di atas 45 tahun, dia pun menanyakan kepada Disdik. “Sepengetahuan saya guru PNS saja usia pensiun bisa sampai 60 tahun, bahkan sekolah swasta jika masih mampu sampai 70 tahun diberdayakan,” kata dia. Nah jika tak masuk databased, gajinya juga makin tak jelas. Seberapa besar sekolah bisa sanggup membayar kami,” tandasnya.
Karena itulah dia bersama honorer lain akan berjuang menuntut haknya. “Tolonglah Pemprov Sumsel perhatikan pengabdian kami di daerah terpencil ini,” pinta wanita kelahiran Medan, 20 September 1968 dengan lima orang anak ini.(Red)