JAKARTA ,LENTERAJABAR.COM - Sejumlah pihak mendesak pembatalan atau penghapusan pasal larangan
penodaan agama karena dianggap menimbulkan permasalahan akibat subjektivitas
penerapannya yang mengekang/melanggar kebebasan.
Ketua
Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, menilai desakan tersebut tidak sejalan dengan
semangat penghormatan terhadap agama di Indonesia. Selain itu, Mahkamah
Konstitusi telah mengukuhkan (menolak pembatalan) Pasal dalam UU 1/PNPS/1960 jo
UU KUHP Pasal 156A tersebut.
"Ini
artinya secara konstitusional dan by the law UU larangan penodaan agama sangat
penting bagi upaya penghormatan dan penjagaan semua agama yang diakui secara
resmi oleh negara dari upaya penodaan atau penistaan," tandas Jazuli.
Anggota
Komisi I ini meminta pihak-pihak yang kekeuh mendesak pembatalkan larangan
penodaan agama memahami bahwa UU tersebut justru dibutuhkan untuk menjaga
kerukunan antar umat beragama.
"Justru
jangan dihapus kalau kita ingin menjaga kerukunan, karena jika tidak ada pasal
tersebut orang seenaknya menghina dan menista agama dan ini akan memancing
disharmoni bahkan bisa menciptakan instabilitas nasional," terangnya.
Secara
universal, lanjut Jazuli, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah
menyebutkan bahwa hak beragama adalah hak yang paling dasar (basic human
rights) dan tidak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non
derogable rights).
"Dalam
konteks Indonesia, negara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga
negara. Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan,
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," kata
Jazuli.
Jaminan
terhadap hak beragama, lanjutnya, tidak hanya berupa perlindungan atas pilihan
keyakinan seseorang, tetapi juga perlindungan negara atas setiap agama dari
upaya penodaan dan penistaan yang dilakukan oleh siapapun.
Negara,
kata Jazuli, juga mengembangkan dan mempromosikan sikap toleransi dalam
menjalin hubungan antarumat beragama, mencegah berbagai tindakan yang menyulut
ketersinggungan umat beragama serta tegas melarang penistaan agama atas nama
apapun, termasuk kebebasan.
"Untuk
itu, UUD 1945 pada Pasal 28J menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak
asasi orang lain dalam rangka tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pun, setiap orang dalam menjalankan kebebasannya tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum," papar Jazuli.
Jazuli
Juwaini justru mengajak seluruh warga bangsa untuk bersyukur bahwa negara kita
memiliki pendirian dan aturan yang jelas tentang posisi agama dan ancaman
terhadap perbuatan yang merusak bangunan kerukunan beragama sebagaimana
tersebut di atas.
"Di
negara kita, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang menghinakan, menodai, dan
menistakan agama. Tidak boleh ada sikap yang menyerang dan merusak nilai dan
ajaran agama. Ketegasan sikap negara terhadap intoleransi secara konkret
diwujudkan dalam beleid tentang larangan penodaan agama. Ini harus kita
pertahankan," pungkas Jazuli.
UU
Nomor 1/PNPS/1965 pada Pasal 1 menyatakan dengan jelas larangan penodaan agama,
yaitu “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang
sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran
agama itu.”
UU
Penodaan Agama juga memuat ketentuan untuk memperingatkan orang, penganut,
anggota dan/atau pengurus organisasi yang melakukan hal-hal yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama. Keputusan untuk memperingatkan tersebut dapat
diambil berdasarkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan
Jaksa Agung. Apabila dinilai masih terus melanggar, maka perseorangan tersebut
dapat dipidana.
UU
ini pernah di-uji materi-kan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi pada
2009. Namun MK justru menguatkan keberadaannya. MK menilai UU larangan penodaan
agama tetap diperlukan dalam konteks Indonesia sebagai negara relijius
(religious nation). Pembatasan kebebasan beragama dapat dilakukan dengan alasan
ketertiban umum (public order) untuk menghindari terjadinya kekacauan dan membahayakan
masyarakat, sehingga tercipta keharmonisan nasional.
MK
juga memberikan justifikasi bahwa penodaan agama masih merupakan tindak pidana
di banyak negara dunia. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 156a menyatakan dengan jelas “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan: (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b)
Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan
seluruh instrumen tersebut, Indonesia menghendaki satu hubungan keberagamaan
yang saling menghormati dan menghargai eksistensi agama dan nilai ajarannya.
Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengembangkan sikap yang arif dan
bijaksana, mengedepankan kepekaan dan toleransi dalam hubungan antarumat
beragama.(Red/Rhp)