Notification

×

Iklan

Iklan

Interupsi, PKS Ajukan Hak Angket Ahok di Sidang Paripurna

Jumat, 24 Februari 2017 | 13:32 WIB Last Updated 2017-02-24T06:32:41Z
JAKARTA.LENTERAJABAR.COM - Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Refrizal mengingatkan janji pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 9 saat dilantik pada Bulan Oktober 2014 silam. 

Janji tersebut adalah mengenai komitmen untuk melaksanakan amanat konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Termasuk, memenuhi asas keadilan pada persoalan pelanggaran hukum untuk segera menonaktifkan sementara Basuki Tjahja Purnama (Ahok) melalui Keputusan Presiden (Keppres).

“Kami ingin mengingatkan kembali kepada Pemerintah bahwa Presiden Republik Indonesia dalam janjinya sebagaimana diatur dalam pasal 9 UUD 1945 berjanji bahwa: “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban PresidenRepublik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, 

memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan bangsa”, jelas Refrizal saat interupsi Hak Angket di Sidang Paripurna Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2016-2017, Kamis (23/2).

Hak Angket Ahok ini, tegas Refrizal, adalah bagian dari Hak Anggota DPR RI. Sebagaimana diatur dalam UU MPR, DPR, DPR, dan DPD (MD3) Pasal 199, bahwa Hak Angket diusulkan paling sedikit 25 orang Anggota DPR dan lebih dari 1 Fraksi.

“Kami ingin agar pemerintahan ini berjalan sebagaimana mestinya, memenuhi janji-janjinya untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat dan menjalankan konstitusi sebagaimana mestinya,” tegas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini. 

Berikut adalah pernyataan dan sikap Fraksi PKS terkait Hak Angket Pengaktifan Kembali Ahok sebagai Gubernur DKI.

Argumentasi Hukum

Dalam kasus Ahok kami mengingatkan bahwa diduga terjadi setidaknya 5 pelanggaran yang menjadi dasar kami dalam mengajukan Hak Angket Ahok : 

1. Diduga kuat bahwa Presiden telah melanggar UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat 1,2 dan 3. Jika Ahok didakwa pasal 156a KUHP dengan hukuman selama-lamanya lima (5) tahun maka dalam UU No.23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1 disebutkan paling singkat lima (5) tahun, “ Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” “Jadi pada sanksi pidana yang didakwakan terhadap Ahok ada irisan pada hukuman lima tahun. Ini jelas tidak multitafsir.

2. Perbuatan Ahok masuk pada kategori “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Ali Mukartono yang dibacakan pada pada 20 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara :”Pernyataan dan isi kutipan buku tersebut (pernyataan Ahok tentang Almaidah :51) itu justru berpotensi menimbulkan perpecahan di kalangan anak bangsa, khususnya pemeluk agama Islam dan bahkan dapat menimbulkan persoalan baru.” ( Kompas, 20/12/2016). “Kutipan dakwaan Jaksa ini telah memenuhi maksud dari Pasal 83 Ayat 1 pada bagian terakhir yaitu perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

3. Pemberhentian sementara Ahok seharusnya tidak menunggu tuntutan jaksa penuntut umum tetapi cukup berdasarkan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sesuai dengan Pasal 83 Ayat 2

4. Kegiatan serah terima jabatan gubernur yang di dalamnya ada Serah Terima Laporan Nota Singkat Pelaksana Tugas dari Plt. Gubernur DKI Jakarta kepada Gubernur Petahanan, Ahok pada masa cuti, 11 Februari 2017 pukul 15.30 di Gedung Balai Kota DKI Jakarta diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta Peraturan KPU No.12/2016

5. Argumentasi angket DPR ini mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat dan para pakar hukum yang mempersoalkan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang merupakan terdakwa kasus penistaan agama.

Selain bicara mengenai Hukum, izinkan pula kami menyinggung soal Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Argumentasi Etika

Dalam kesempatan interupsi ini kami ingin mengingatkan kepada semua pihak bahwa ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara masih berlaku. Ketetapan MPR ini hadir sebagai jawaban sejak terjadinya krisis multi dimensional, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsadan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konfliksosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa adalah mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etoskerja, kemandirian, sikaptoleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan sertamartabat diri sebagai warga bangsa.

Kami mengingatkan bahwa Berdasarkan padaPasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 Tap MPR kembali menjadi Peraturan Perundang-Undangan yang secara Hierarki ada dibawah UUD 1945.

Dalam Pasal 3 TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam kehidupan berbangsa’. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai; atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.Misi dari Ketetapan MPR ini adalah agar setiap pejabat publik dan elit politik bersikap jujur, amanah, sportif, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan.

Etika berada di atas hukum karena etika adalah sebuah kebajikan yang nilainya tertinggi. Karena itu, sudah menjadi etika seseorang yang berstatus tersangka atau bahkan terdakwa tidak layak lagidiangkat menjadi pejabat publik. Siapapun orangnya.

Maka kami merekomendasikan sebaiknya Ahoksebagai pejabat publik mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.Bangsa ini butuh keteladanan. Terima kasih,pungkas Refrizal.(Fr/R)
×
Berita Terbaru Update