Notification

×

Iklan

Iklan

Pengesahan Protokol Ke-6 Jasa Keuangan AFAS Harus Melindungi Kepentingan Nasional

Jumat, 27 April 2018 | 15:39 WIB Last Updated 2018-04-27T08:39:48Z
JAKARTA, LENTERAJABAR.COM-Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan dan Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam telah menyampaikan interupsi dalam Rapat Paripurna terkait pengesahaan Undang-Undang tentang Pengesahan Protocol to Implement the Sixth Package of Commitment on Financial Services under ASEAN Framework of Services (AFAS) atau RUU Tentang Pengesahan Protokol Ke-6 Jasa Keuangan AFAS.

“Kami menekankan agar dalam pengesahan RUU ini tetap ada komitmen besar untuk menjadikan sektor keuangan nasional termasuk perbankan agar tetap menjadi tuan rumah. Bukan sekedar menjadi pasar yang negara asing. Kita tekankan agar janji pemerintah benar-benar ditunaikan untuk itu. Kita ingin Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, paparnya di Jakarta,Kamis (26/4).

Ecky juga menekankan bahwa fraksi partainya telah memberikan minderheid nota atau menerima dengan catatan hasil pembahasan RUU tersebut. Sehingga berbagai catatan yang telah diberikan Fraksi PKS agar benar-benar dijalankan oleh pemerintah. “Bahwa Pengesahan Protokol Ke-6 Jasa Keuangan AFAS ini akan memiliki konskuensi yang luas termasuk perubahan pada UU sektor keuangan eksisting. Kita menekankan bahwa ini harus dicermati secara mendalam dan tetap dijaga agar kepentingan nasional yang dominan”, imbuhnya.

Selanjutnya Ecky juga mencermati dampak luas dari perjanjian multilateral dan bilateral yang dapat merubah konstruksi hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang yang telah ada. Untuk itu Pemerintah perlu melakukan pembicaraan secara mendalam dengan DPR sebelum membuat perjanjian dan ratifikasi yang akan membentuk dan membuat kaidah dan norma hukum baru. Dampak ratifikasi sebuah perjanjian multilateral dengan kaidah atau norma hukum baru, maka akan berdampak pada adanya tuntutan dan konsekuensi perubahan pada konstruksi Undang-Undang yang telah eksis.

“Bahwa Protokol ke-6 ini mengandung kaidah dan norma hukum yang merubah dan men-drive serta mendorong adanya perubahan terhadap beberapa Undang-Undang yang sudah ada terkait dengan sistem keuangan terutama perbankan. Keputusan Mahkamah Konstitusi dan dalam tata cara pembuatan UU bahwa setiap perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah baik multilateral atau bilateral yang mengandung kaidah hukum baru harus diminta persetujuan dan dibahas bersama DPR sebagai legal maker”, tegasnya.

Namun sayangnya pada saat pemreintah menyetujui perjanjian bilateral atau multrilateral hampir seluruhnya pemerintah menyetujui tanpa berkonsultasi dengan DPR. “Akibatnya DPR dipaksa tidak menerima hasil perjanjian tanpa sebelumnya berkonsultasi dengan DPR. Proses pembuatan UU seperti ini tidak tepat. Karena hal tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas. Dan berkonsekuensi merubah Undang-undang yang telah ada”, lanjutnya.

Ecky juga menekankan bahwa membuka akses baru ke perbankan asing tidak memberikan jaminan terhadap peningkatan realisasi kredit atau pembiayaan di Indonesia. Selama ini, perbankan asing sangat minim dalam menyalurkan kredit sehingga lebih berfokus pada bisnis pelayanan (fee based income). Selain itu dengan diberikannya peluang pendirian lembaga keuangan asing secara luas di Indonesia tidak menjamin peningkatan tingkat kompetitif perbankan nasional.

 “Dengan mempertimbangan kekuatan aliran dana, modal, kualitas SDM, tingkat suku bunga dan risiko yang dihadapi maka sebaiknya pemerintah harus benar-benar mempersiapkan hal tersebut. Padahal secara peran, perbankan asing kurang berkontribusi baik dalam penghimpunan maupun penyaluran dana”, tambahnya.

Hingga kini menurutnya, berdasarkan data, bank-bank Persero yang menjadi penopang Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit di Indonesia. Sepanjang 2012-2017, penyaluran kredit kelompok bank asing hanya tumbuh rata-rata 4,79 persen per tahun. Peranan kelompok bank asing dalam penyaluran kredit rata-rata 6,19 persen.

Penghimpunan DPK hanya tumbuh rata-rata 1,59 persen per tahun; dengan pangsa sekitar 4,21 persen per tahun. Sementara itu, kelompok bank campuran masing-masing memiliki pertumbuhan kredit rata-rata 8,61 persen (2012-2017) dan dengan pangsa penyaluran kredit rata-rata 5,32 persen. Penghimpunan DPK tumbuh rata-rata 6,23 persen per tahun; dengan pangsa rata-rata 3,79 persen per tahun. Kelompok bank Persero masing-masing berperan 37,63 persen terhadap penyaluran kredit perbankan; dengan pertumbuhan kredit rata-rata 15,47 persen per tahun.

“Kita juga menyoroti bahwa dominasi lembaga keuangan asing maka akan mengakibatkan berkurangnya potensi terserapnya SDM Indonesia untuk bekerja di industri keuangan baik perbankan dan non perbankan. Sebab sebagai konsekuensinya mereka akan mengikut sertakan SDM asing dalam kelembagaanya yang juga tidak menjamin akan terjadinya transfer knowledge kepada SDM Indonesia. Pemerintah harus berpihak untuk kepentingan nasional dan menjadikan kita tuan rumah di negeri sendiri”, tandasnya.(Red/Rls)
×
Berita Terbaru Update