Notification

×

Iklan

Iklan

GUBERNUR MELANTIK TEGUH SANTOSO JADI KEPALA BKKBN JABAR

Rabu, 04 Oktober 2017 | 16:11 WIB Last Updated 2017-10-04T09:11:01Z
BANDUNG,LENTERAJABAR.COM-Kekosongan jabatan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jabar yang lowong sejak akhir juli lalu, kini resmi diisi pejabat baru.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, resmi melantik Sukaryo Teguh Santoso di Aula Timur Gedung Sate sebagai pimpinan tinggi pratama pada instansi vertikal pengelola program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga (KKBPK) tersebut. Pria yang akrab disapa Teguh ini menggantikan pejabatsebelumnya, Sugilar yang telah memasuki masa purna bakti. Rabu (4/10).

Teguh sendiri sebenarnya bukan wajah baru di BKKBN Jawa Barat. Ia mengawali karir PNS-nya pada tahun 1993 sebagai fungsional PKB (Penyuluh Keluarga Berencana) di Kabupaten Bandung Barat. Baru pada tahun 2001 ia merintis karir di jabatan struktural sebagai Kasi Remaja dan PHR di BKKBN Jawa Barat. Lalu pada tahun 2010 2011 ia dipromosi naik ke jabatan eselon III, sebagai Kabid Keluarga Sejahtera (KS) (2010), dan Kabid Advokasi Penggerakan dan Informasi (2011).

Teguh pun kemudian dilirik BKKBN Pusat, hingga pada penghujung tahun 2011, ia ditarik ke Jakarta menduduki jabatan Kepala Sub Direktorat Advokasi dan Pencitraan di BKKBN Pusat, lalu menjadi Kepala Sub Direktorat Tenaga Lini Lapangan pada penghujung tahun 2012 hingga 2015. Kemudian pada tahun 2016 ia kembali mendapat promosi ke Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama / Eselon II sebagai Kepala Perwakilan BKKBN Kalimantan Timur, dan selang satu tahun kemudian kembali ke Jakarta sebagai Direktur Bina Lini Lapangan di BKKBN Pusat.

Kini, karena kepiawaiannya dan pengalamannya baik selama masih di Jawa Barat maupun saat berkiprah di BKKBN Pusat dan saat menjadi Kepala Perwakilan BKKBN Kalimantan Timur, Teguh pun dipercaya untuk kembali di Jawa Barat sebagai Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat.
 
Tugas Berat sudah Menunggu

Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, dengan populasi sebesar 46,7 juta jiwa, atau sekitar 20 persen penduduk Indonesia, menjadikan Jawa Barat sebagai barometer pencapaian program KKBPK secara nasional. Suka atau tidak, kondisi ini tentu menjadi tantangan berat bagi penyelenggara program KKBPK di Jawa Barat.

Selain jumlah penduduknya yang sudah besar, masalah kependudukan di Jawa Barat juga dihadapkan pada tantangan pertumbuhan penduduknya yang tinggi, dan persebarannya yang tidak merata. Pada periode tahun 2001-2010, laju pertumbuhan penduduk (LPP) Jawa Barat berada pada kisaran 1,89 persen per tahun.

Meskipun terus menurun dari periode tahun 1991-2000 yang mencapai 2,27 persen, namun LPP Jawa Barat masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LPP Nasional pada periode tahun yang sama, yaitu sebesar 1,49 persen per tahun. Meski begitu, kondisi terbaru menurut proyeksi BPS, LPP Jawa Barat terus bergerak positif, menurun menjadi 1,48 persen pada tahun 2015.
Tingginya LPP Jawa Barat sebenarnya tidak terlepas dari konsekuensi daya tarik yang dimiliki oleh Jawa Barat sendiri, sehingga tingkat perpindahan penduduk (migrasi) yang masuk ke Jawa Barat cukup tinggi, terutama ke wilayah-wilayah perbatasan dengan DKI Jakarta sebagai wilayah penyangga utama ibukota negara.

Hal ini tercermin dari LPP tertinggi di Jawa Barat pada tahun 2015 berada di Kabupaten Bekasi sebesar 3,95% per tahun, diikuti Kota Depok (3,57% per tahun), dan Kota Bekasi (2,74% per tahun), serta Kabupaten Bogor (2,41% per tahun).

Disamping faktor perpindahan penduduk (migrasi), tingkat kelahiran (fertilitas) juga menjadi faktor utama pertumbuhan jumlah penduduk. Meskipun LPP Jawa Barat terus menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, yang juga sejalan dengan penurunan Total Fertility Rate (TFR) 2 hingga 3 anak per wanita dari pasangan usia subur, namun karena tingginya jumlah penduduk yang sudah ada, maka jumlah penduduk Jawa Barat terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, TFR Jawa Barat turun dari 2,6 (tahun 2007) menjadi 2,5 di tahun 2012. Angka ini menempatkan TFR Jawa Barat berada dibawah rata-rata nasional 2,6.

Tentu ini menjadi tugas berat bagi Perwakilan BKKBN Jawa Barat sebagai pengelola program KKBPK di Jawa Barat untuk dapat menurunkan sasaran TFR menjadi 2,38 pada akhir tahun 2017 ini, dan terus menurun di tahun berikutnya secara bertahap ke angka ideal menjadi 2,1. Untuk menurunkan TFR, maka komponen utama yang perlu diintervensi adalah mendorong penggunaan kontrasepsi bagi pasangan usia subur (PUS).

Saat ini di Jawa Barat terdapat 9,5 juta pasangan usia subur, dimana 66,27 persennya sebagai pengguna kontrasepsi modern (Pendataan Keluarga 2015). Angka ini perlu dijaga keberlangsungannya, agar tidak terjadi drop out (DO) peserta KB, mengingat mayoritas peserta KB di Jawa Barat lebih menyukai metode kontrasepsi jangka pendek, seperti pil dan suntikan.

Menjadi catatan pula bahwa tingginya TFR di Jawa Barat, juga dipengaruhi masih tingginya jumlah kelahiran kelompok umur 15-19 tahun, sebesar 37 kelahiran per 1000 wanita, dimana kelompok umur ini masih panjang rentang usia reproduksinya.

Tantangan lain bidang kependudukan di Jawa Barat juga terkait pemanfaatan bonus demografi, yakni menyikapi tingginya struktur umur muda dan kualitas penduduk yang relatif rendah.

Berdasarkan Publikasi Bappenas (2013), pada tahun 2015 terdapat sebanyak 27 persen penduduk Jawa Barat yang merupakan penduduk muda, yang secara ekonomi akan berdampak pada beban keluarga dan negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tinggi, seperti gizi, kesehatan dan pendidikannya. Namun beruntung di saat yang sama terdapat 67 persen penduduk Jawa Barat yang merupakan penduduk usia produktif (usia 15-65 tahun).

Melimpahnya penduduk usia kerja ini dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi apabila diiringi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini tentunya berkorelasi dengan tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat, dan kabar buruknya, ternyata menurut data BPS, rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Barat hanya 8 tahun, atau setara dengan kelas II SMP saja.

Situasi ini tentu perlu dikhawatirkan, agar bonus demografi jangan justru menjadi ancaman. Caranya melalui upaya peningkatan kualitas penduduk melalui pendidikan dan pemberian ketrampilan sebagai bekal untuk meningkatkan daya saing dan memasuki pasar kerja.

Menyikapi berbagai tantangan kependudukan di Jawa Barat tersebut, maka kebijakan pembangunan KKBPK di Jawa Barat diarahkan pada revitalisasi program KB melalui peningkatan kuantitas dan kualitas kesertaan dalam program KB.

Kemudian dengan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dengan pengokohan ketahanan keluarga melalui pendewasaan usia perkawinan, program pembinaan keluarga dan peningkatan ekonomi keluarga. BKKBN juga tengah menggarap inovasi pengembangan program KKBPK dengan melibatkan intervensi lintas sektor melalui program Kampung KB, yang melibatkan berbagai instansi, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, swasta, unsur mitra lainnya, dan masyarakat sendiri.(Red)
×
Berita Terbaru Update