Notification

×

Iklan

Iklan

Renungan Wakil Rakyat: Utang PEN dan Covid-19 oleh: Drs. H. Daddy Rohanady Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat

Kamis, 11 Februari 2021 | 08:27 WIB Last Updated 2021-02-11T01:34:32Z


BANDUNG.LENTERAJABAR.COM
,--Sebagai wakil rakyat, anggota dewan di semua tingkatan wajib menyuarakan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Hal itu menjadi bagian dari sumpah yang diucapkannya ketika ia dilantik. Oleh karena itu, tidak salah jika masyarakat mempertimbangkan "perjuangan" setiap anggota dewan ketika yang bersangkutan mencalonkan diri pada pilkada atau pemilu berikutnya.

Sebagai wakil rakyat, anggota dewan --yang biasa disapa dengan sebutan "Yang Terhormat"-- harus mencermati setiap kebijakan yang diambil sesuai tingkatannya. Dengan demikian, ia baru dapat dikatakan berperan serta secara aktif dalam kebijakan di tempatnya bertugas. Tanpa itu, ia dianggap hanya sebagai "pelengkap" semata. Makin banyak anggota dewan bersikap seperti itu, makin melekatlah stempel bahwa wakil rakyat hanya menjadi tukang stempel.

Wakil rakyat di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bersama gubernur/bupati/wali kota merupakan penyelenggara pemerintahan di wilayahnya. itulah yang dieksplisitkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, kemajuan sebuah wilayah tergantung pada kesepakatan keduanya ungkap legislator partai berlambang burung garuda ini kepada Lenterajabar.com melalui jaringan WhatsApp,Kamis (11/2/2021)

Sebagai wakil rakyat, anggota dewan memiliki tiga fungsi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa DPRD mempunyai fungsi pembentukan perda, penganggaran, dan pengawasan.

Jawa Barat sebagai sebuah provinsi juga terkena aturan yang sama. Namun ada cerita menarik ketika pandemi corona virus desease (covid-19) terjadi. Seiring kebijakan pemerintah pusat, semua kepala daerah diberi otoritas penuh untuk melakukan refocusing kegiatan sekaligus realokasi anggaran. Itu artinya, para kepala daerah diberi otonomi penuh terkait perubahan APBD. Landasan yuridisnya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease-19. Perppu tersebut kemudian diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Jawa Barat pun, untuk pertama kalinya, melakukan perubahan APBD murni hingga lima kali. Semua perubahan itu dikaitkan dengan penanggulangan wabah yang semula berasal dari Wuhan-Cina tersebut. Perubahan tersebut menggeser alokasi anggaran di semua organisasi perangkat daerah (OPD) yang jumlahnya triliunan rupiah. Untuk apa? Penanganan kesehatan dan jaring pengaman sosial (social safety net).

Jawa Barat, seperti halnya beberapa daerah lain, tergolong daerah yang terdampak covid-19 cukup parah. Di sisi lain banyak program/kegiatan yang masih membutuhkan pembiayaan. Di tengah kondisi itu, PT Sarana Multi Infrasruktur (SMI), salah satu perusahaan plat merah di bawah Kementerian Keuangan, menawarkan utang untuk mengatasi fiscal gap tersebut.

Jadilah pertama kali dalam sejarah ada nomenklatur baru dalam struktur APBD: Pinjaman Daerah alias utang. Sejatinya utang tersebut dilakukan dalam konteks pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sekali lagi, Jabar ditawari utang karena dianggap terdampak covid-19 cukup parah.

Ada satu faktor lagi sebenarnya yang membuat utang itu terjadi, yakni kepala daerah dan DPRD-nya menerima tawaran utang tersebut. Andai satu dari dua pihak itu tidak mau menerima berutang --sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah-- pasti tak akan ada nomenklatur Utang dalam APBD Jabar. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Namun, tidak berarti keputusan tersebut tanpa perdebatan alot.

Konsekuensinya, dalam APBD Jabar --minimal 8 tahun ke depan-- akan tertera nomenklatur Pengembalian Pinjaman Daerah. Tenor pengembalian itu sesuai dengan kesepakatan antara Pemprov Jabar dan PT SMI.

Utang Jabar ke PT SMI secara total Rp 4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah). Utang tersebut terbagi dua: Rp 1,8 triliun untuk APBD perubahan 2020 dan Rp 2,2 triliun untuk APBD murni tahun 2021.

Semua kegiatan yang dibiayai utang pasti menjadi bagian dari APBD, yang dibahas di Badan Anggaran dan disepakati di rapat paripurna. Oleh karena itu, fungsi anggaran DPRD mestinya dijalankan secara cermat. sayangnya, dengan alasan waktu yang sangat mepet, hal itu juga tidak terjadi.

Awas, hati-hati dengan utang


Mengapa kita harus hati-hati dengan utang PEN? Paling tidak ada dua alasan mendasar. Pertama, utang pasti harus dibayar. Apapun yang terjadi, utang harus dikembalikan kepada si pemberi utang. Kedua, andai pekerjaannya mangkrak, pekerjaan itu tidak memberi manfaat apapun bagi masyarakat. Lagi-lagi padahal biaya sudah dikeluarkan. Jadi, semua kegiatan yang dibiayai utang harus diawasi dengan ekstra ketat.

Sebenarnya ada satu hal mendasar yang selalu penulis sampaikan dalam banyak kesempatan. Utang itu diberikan dalam terminologi PEN: pemulihan ekonomi nasional, dalam hal ini ekonomi Jawa Barat. Artinya, program/kegiatan yang dibiayai utang PEN semestinya diarahkan untuk pemulihan ekonomi Jawa Barat. Dengan demikian, kita mesti berkhidmat hanya pada tujuan tersebut.

Di sini letak fungsi pengawasan yang dimiliki dewan harus dibuktikan. Pengawasan tersebut harus dilakukan ekstra ketat karena utang harus dikembalikan. Utang tersebut juga akan menjadi beban seluruh rakyat Jawa Barat, termasuk gubernur dan DPRD berikutnya.

Semoga semua membawa manfaat. Wallahu a'lam bishawab.(Rie/A)

×
Berita Terbaru Update