Notification

×

Iklan

Iklan

Dorong Kembali RUU PKS, Kemen PPPA Galang Konsolidasi Berbagai Pihak

Kamis, 23 Juli 2020 | 20:57 WIB Last Updated 2020-07-23T13:57:06Z
JAKARTA.LENTERAJABR.COM,--Dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 menimbulkan kekhawatiran bagi berbagai lapisan masyarakat Indonesia, terutama dalam menyikapi kekerasan seksual yang semakin meningkat. Oleh karenanya, dibutuhkan konsolidasi dari semua pihak, yakni pemerintah, Aparat Penegak Hukum, pakar hukum, Lembaga Masyarakat, dan akademisi dalam merespon kuatnya dukungan masyarakat luas untuk mendorong kembali RUU PKS.

Pada tanggal 2 Juli lalu, Rapat Kerja  Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Republik Indonesia (DPR RI) bersama Menteri Hukum dan HAM, serta Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) membahas evaluasi dan usulan perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2020 menyepakati untuk mengurangi 16 RUU Prolegnas Prioritas 2020, termasuk RUU PKS.

“Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga telah mendapat beberapa pandangan, deklarasi, orasi, dan surat terbuka dari berbagai lapisan masyarakat. Inilah saatnya bagi kita untuk mendapatkan masukan konstruktif, mengulas, dan memformulasikan ulang draft RUU PKS. Kita juga harus berkonsolidasi kembali demi merespon kuatnya dukungan dari masyarakat untuk mendorong RUU PKS masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021,” tutur Plh Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyelesaian Kekerasan Seksual dalam Konteks RUU PKS yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA Jakarta(23/7/2020).


Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kemen PPPA, Ali Khasan mengatakan bahwa hukum acara pidana yang ada selama ini hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka. Pengaturan tentang kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga masih terbatas, sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses secara hukum. 

“RUU PKS merupakan upaya pembaruan hukum yang bertujuan untuk melakukan pencegahan terjadinya kekerasan seksual, penjaminan hak korban, termasuk pemulihan, pembuktian, pemantauan penghapusan kekerasan seksual, dan pemidanaan. Selain itu, RUU PKS diharapkan mampu melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggungjawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. RUU PKS menjadi suatu terobosan hukum yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan, karena RUU PKS didasarkan pada kajian terhadap pengalaman-pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum,” ujar Ali Khasan.


Senior Independent Advisor and Legal Policy and Humas Rights Institut Perempuan, Valentina Sagala mengatakan bahwa selama ini Kemen PPPA (Pemerintah) telah melakukan beberapa langkah baik dalam mendorong proses legislasi RUU PKS, termasuk dalam merangkul berbagai pihak untuk melakukan diskusi intensif terkait RUU PKS.

“Pada 2019 Kemen PPPA telah melakukan langkah yang baik untuk melakukan diskusi intensif terkait RUU PKS dengan Aparat Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Masyarakat Sipil, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kantor Staf Presiden (KSP) dan Tim Ahli. Salah satu Tim Ahli yang ditunjuk Kemen PPPA adalah seorang ahli pidana yang digunakan pemerintah untuk menjadi tim ahli RUU KUHP. Strategi ini sangat baik untuk mewujudkan sinergi antara RUU PKS dengan RUU KUHP,” terang Valentina.

Selain upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya dalam mendorong proses legislasi RUU PKS, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa mengatakan harus ada kualifikasi khusus dari RUU PKS yang disampaikan kepada teman-teman di DPR RI, sehingga tidak bersinggungan dengan undang-undang lainnya.

“Kekerasan seksual tidak melulu melingkupi perbuatan “cabul” dalam pengertian sempit, tapi kekerasan seksual menyangkut satu konteks dalam kekerasan yang sangat luas, mulai dari verbal, oral, psikis, fisik, dan meliputi bidang yang sangat luas. Tidak hanya KDRT atau yang nantinya bersinggungan dengan Undang-Undang tentang Penghapusan KDRT, tidak hanya terkait perlindungan anak, atau terkait ketenagakerjaan yang nantinya bersinggungan dengan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Ada kualifikasi khusus, atau ada satu keadaan khusus yang harus diperhatikan dalam konteks ini. hal tersebutlah yang harus kita sampaikan kepada teman-teman DPR,” tutur Eva.(Red/Ril)
                                                      
×
Berita Terbaru Update